Dunia Fira
'Berbagai Karya Tulisanku Ku Persembahkan Yang Terbaik'

Kamis, 19 Agustus 2010

Buku Putih yang Kontroversial

Buku Putih Reformasi Sepak Bola Indonesia diharapkan akan menjadi awal dari kembalinya paradigma sepak bola Indonesia.

Itulah saudara-saudara, mari sekali lagi kita bangkit, kita maju merebut kembali kejayaan kita pada tingkat nasional, Asia maupun pada akhirnya nanti dunia.
-- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Coba tanyakan negara mana yang menjadi tolok ukur sepak bola dunia saat ini? Banyak yang tentunya menjawab Inggris, dengan indikator kompetisi sepak bola negara ini paling teratur dari tingkat amatir hingga hingga Liga Premier yang dihuni banyak pemain-pemain terbaik di dunia saat ini.

Namun, coba tanyakan pada rakyat Inggris apakah mereka merasa negara mereka terbaik di sepak bola saat ini? Kalau mereka menjawab ya, mereka akan menjadi bahan cemooh bangsa-bangsa pesaing mereka, seperti Belanda, Perancis, dan (terutama) Jerman. Kalau ukurannya Piala Dunia, Inggris tidak pernah berprestasi baik lagi sejak menjadi juara dunia pada 1966 dan masuk semifinal pada 1990. Begitu pun di Piala Eropa.

Tetapi Belanda, dengan kompetisi Eredivisie yang tidak menarik, justru lolos ke babak final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Sementara Jerman dengan Bundesliga dan pemain buangan macam Ruud van Nistelrooy, Franck Ribery, dan Raul Gonzalez justru menjadi negara dengan prestasi paling konsisten di tiga Piala Dunia terakhir dengan selalu lolos ke semifinal.

Artinya, bagi setiap bangsa, prestasi timnas menjadi tolok ukur abadi atau mutlak dari maju mundurnya sepak bola negara tersebut. Seberapa meriahnya pun kompetisi lokal, tetapi apabila timnas keok terus, maka bangsa itu akan selalu menjadi bahan cemooh. Sementara publik Amerika yang mungkin tidak peduli dengan kompetisi lokal dapat histeris dan bersemangat mendukung timnas mereka yang berlaga di Piala Dunia.

Terpuruknya prestasi timnas Indonesia inilah yang menjadi titik pemicu lahirnya Buku Putih Sepak Bola ini. Di ajang SEA Games 2009, Indonesia terpuruk menjadi juru kunci grup dikalahkan Myanmar 1-3 dan Laos 1-2. Ironisnya, banyak yang tak peduli. Suatu sikap yang seharusnya menjadi indikator dari matinya masyarakat sepak bola Indonesia.

Buku ini diharapkan menjadi suatu langkah awal diluruskannya kembali paradigma sepak bola Indonesia. Kalau masyarakat tidak peduli pada prestasi timnas, buat apa sepak bola dijalankan di suatu negara? Sepak bola hanya akan menjadi tumpuan kepentingan sekelompok orang yang mencari keuntungan dari olahraga itu sendiri. Baik itu pemain, pengurus, wasit maupun panitia pelaksana pertandingan, semuanya memanfaatkan histeria massa terhadap sepak bola.

Buku Putih Reformasi Sepak Bola Indonesia ini diterbitkan oleh gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia yang digagas oleh pengusaha dan politisi senior, Arifin Panigoro. Arifin agaknya memilih kata reformasi karena masih berharap perubahan akan terjadi secara perlahan-lahan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat luas betapa kronisnya kondisi persepakbolaan nasional.

Seperti layaknya buku putih, buku ini menggambarkan hal-hal yang tidak terungkap di media massa umum atau mungkin terlewatkan oleh awam. Masalah-masalah seperti suap, mafia wasit, penyalahgunaan kekuasaan sebagai hak prerogatif, budaya kekerasan, kejanggalan dalam kontrak pemain, sampai intervensi polisi dalam kompetisi sepak bola nasional diungkap. Bahkan, buku ini juga mengungkapkan kasus-kasus hukum yang menimpa para pengurus PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid.

Namun, buku ini juga mengungkapkan fakta positif, seperti survei yang memperlihatkan bagaimana populernya sepak bola nasional sebagai tontonan, baik secara langsung maupun sebagai hiburan olahraga di televisi.

Gerakan reformasi ini juga memberi jalan keluar secara komprehensif menyangkut pendanaan, pembinaan, hingga penataan organisasi. Untuk melakukan perubahan tersebut, Gerakan Reformasi menawarkan lima pilar strategi menuju Liga Indonesia Baru yang menyangkut quality, atmosphere, community, local brands, dan visibility.

Pilar pertama, quality, menyangkut perlunya kompetisi dengan standar tinggi yang meliputi pamin terbaik di Indonesia atau dunia, pemain keturunan Indonesia di Liga Eropa, dan penggunaan wasit asing berstandar FIFA.

Pilar kedua, atmosphere, sepak bola Indonesia harus menciptakan atmosfer sebagai tontonan yang aman dan nyaman buat keluarga. Karena itulah, suasana konfrontatif dan tindak kekerasan harus dijauhkan dari stadion.

Pilar ketiga, community. Sepak bola dapat eksis karena adanya dukungan dari komunitas sepak bola, masyarakat luas. Karena itu, diperlukan dorongan yang bisa lebih memacu animo masyarakat terhadap kompetisi lokal melalui kampanye pemain profesional di tingkat akar rumput serta komitmen pada program sosial, terutama kepada pendidikan masyarakat.

Pilar keempat, local brands. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan beberapa klub, tetapi belum ada hal yang baku. Local brands ini diadopsi klub-klub baru atau menjadi sesuatu yang inheren atau melekat pada klub-klub lama.

Pilar kelima, visibility. Hal ini diperlukan untuk menjamin kelangsungan Liga Indonesia dan penyebarannya. Administrator liga harus mampu melakukan riset untuk menjamin daerah yang paling tepat untuk mendirikan sebuah klub sepak bola.

Strategi pembinaan yang menekankan pada kelompok umur memang lagu lama, tetapi tetap relevan. Pembinaan usia dini inilah yang menurut buku ini selama tujuh tahun ini terbengkalai dan tidak dianggap penting. Akibatnya, kesinambungan pasokan pemain ke level senior kerap tersendat dengan hilangnya bakat-bakat yang baik di tingkat usia dini atau remaja.

Mungkin tdiak ada yang baru dari buku putih ini. Namun, buku ini menjadi fenomenal karena lahir di saat masyarakat sudah sangat skeptis bahkan apatis terhadap sepak bola nasional.

Apalagi buku ini mendapat dukungan dari para penulis dan editor wartawan sepak bola senior dari beberapa media besar yang memang seharusnya menjadi ujung tombak perbaikan olahraga nasional. Memang seharusnya wartawan olahraga, khususnya sepak bola, harus menjadi pencerah dalam dark ages dunia sepak bola Indonesia ini. Di Kongres Sepakbola Nasional (KSN) di Malang, pada 30-31 Maret lalu, para wartawan sepak bola yang hadir belum berhasil untuk berperan banyak, tentunya karena adanya perbedaan kepentingan.

Lebih dari 30 tahun lalu, dengan tekanan media massa, PSSI mengadakan KLB yang menggantikan Ketua Umum Bardosono dan menaikkan nama Ali Sadikin. Dasar pemikirannya adalah kekecewaan masyarakat atas prestasi timnas PSSI yang terus merosot pascapenampilan gemilang di pra-Olimpiade 1976. Kita tunggu saja, perubahan memang sudah saatnya digerakkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar