Dunia Fira
'Berbagai Karya Tulisanku Ku Persembahkan Yang Terbaik'

Senin, 27 September 2010

Petani Dayak Meratus Peduli Lingkungan

Masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kawasan Pegunungan Meratus, yang merupakan bagian dari penduduk asli Kalimantan Selatan, terus mempertahankan cara bertani mereka yang memperhatikan lingkungan.

Cara bertani komunitas masyarakat adat terasing di kawasan Meratus Kalsel itu, selain sarat dengan nuansa ritual, mereka sangat menghormati kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, kata seorang tokok Dayak, kurang tepat kalau ada pihak yang menuduh masyarakat adat Dayak sebagai perusak lingkungan, seperti munculnya kabut asap sebagaimana terjadi beberapa tahun belakangan.

Memang komunitas dayak, yang oleh warga daerah hulu sungai atau "Banua Anam" Kalsel disebut orang bukit itu pada tempo dulu merupakan peladang berpindah.
Mereka, kata Adit, dulu selalu menebang hutan dan membakarnya untuk menyiapkan lahan untuk berladang. Mereka melakukan kegiatan itu untuk keperluan "manugal" atau menanam padi di lahan kering.
Namun sebagaimana, kata tokoh dayak di Harungan, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, itu, perputaran dalam sistem perladangan berpindah yang dilakukan pendahulunya itu minimal memakan waktu sekitar 15 tahun.
"Dengan kurun waktu 15 tahun atau lebih itu, bekas perladangan tersebut bisa menghutan kembali. Karena seiring ’manugal’, adat mengharuskan masyarakat menanam bibit pohon sebagai pengganti hutan yang ditebang," ujarnya.
Pepohonan tersebut berupa pohon yang bisa besar dan daunnya rimbun, seperti meranti dan ramin.
Pada umumnya, kata Adit, penanaman pepohonan jenis kayu hutan itu bercampur dengan tananam yang menghasilkan buah, seperti durian, kemiri, dan pohon langsat. Kelak, hasil hutan itu bisa berguna bagi generasi mendatang.
Menurut dia, ada pula yang menjadikan bekas ladang itu menjadi kebun karet, yang penanamannya bersamaan saat "menugal" atau saat lahan masih bersih dan sehabis panen padi.
Mengenai pembakaran lahan untuk persiapan berladang, kata Adit, warga Dayak tidak sembarangan. Sebelum melakukan pembakaran pepohonan yang mereka tebang, kata dia, terlebih dahulu melakukan penumpukan dan membuat sekat-sekat agar api tidak menjalar ke lain tempat.
Selain itu, sebelum melakukan pembakaran lahan, warga Dayak terlebih dahulu memperhitungkan waktu tibanya musim penghujan. "Pada menjelang musim penghujan tersebut, mereka melakukan pembakaran, sehingga kabut asap tidak menyebar ke mana-mana," kata Adit.
Untuk memperkirakan musim penghujan bakal tiba, kata dia, mereka melihat tanda-tanda alam, seperti letak bintang "haur bilah" (empat bintang dengan bentuk posisi seperti layang-layang) serta fenomena alam lainnya, antara lain sarang laba-laba dan pohon lurus (sungkai).

Wanang
Dalam kegiatan bertaninya, kata Adit, Dayak Meratus memiliki tradisi yang disebut "wanang" atau "bawanang", tradisi bersifat ritual berupa acara selamatan untuk memohon dan menyatakan syukur kepada Sang Hyang, yang menguasai dan mengatur alam semesta.
Sebagai contoh, sebelum "manugal", mereka terlebih dahulu mengadakan acara selamatan yang disebut "wanang umang", selamatan sebelum benih padi dimasukan ke dalam lubang.
Kemudian menjelang panen, mereka terlebih dahulu mengadakan "wanang sambu", selamatan untuk memulai panen.
Ketika selesai panen dan padinya sudah masuk dalam "lulung", lumbung terbuat dari kulit kayu tahan hujan, mereka kembali mengadakan acara selamatan yang disebut "aruh ganal" atau kenduri besar-besaran.
Menurut Adit, sejak tempo dulu, masyarakat Dayak Meratus tak akan menikmati hasil panen pada tahun tersebut kecuali sesudah mengadakan selamatan.
Acara "bawanang" dipimpin seorang tokoh masyarakat Dayak yang memiliki ilmu tinggi dari kepercayaan mereka, yaitu pemuka agama yang disebut "balian" dan pelaksanaan kegiatan tersebut secara gotong-royong.
Pada acara "bawanang" selalu tak ketinggalan jenis makanan berupa "lamang", nasi ketan bakar dalam bumbung bambu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar